Sabtu, 28 Juni 2014

Cerpen Sastra


Cintaku Bukan Cintamu

 

Aku?
Aku? Aku ya Aku.. aku hidup sebagai aku, hidupku sepenuhnya di tanganku, gak ada yang boleh dan bisa mempengaruhi aku, apalagi mencampuri semua urusanku, karena satu-satunya yang berhak ya cuma aku, gak ada yang lain…
Termasuk urusan cinta, Cintaku akulah yang menentukan, bukan Kamu, Dia dan Mereka.. karena menurutku cinta  bahkan lebih penting dari pada kehidupan, untuk apa ada kehidupan tapi tidak ada sedikit pun hubungannya dengan mereka yang bagiku hanya menjadi Figuran di KehidupanKu saja.. Lantas mengapa mereka sering kali mencampuri kehidupanku dari hal kecil sampai hal paling vital yaitu Cinta…
Mereka aku sebut Puitis yaitu si Tua yang selalu berkata bijak, tapi aku tahu semua ucapannya ia dapatkan kerena dirinya pernah mengalami hal itu, menurutku biarlah aku berjalan sendiri tanpa untaian katanya toh aku juga pasti akan mengalaminya. Hal yang tak aku senangi dari si Puitis ini saat bualan bijaknya menunjuk jika aku belum dewasa… lebih parahnya lagi saat ia berkata Tuhan di hadapanku, bukannya menyelesaikan masalah tetapi malah menambahku masalah dengan dosa-dosa.
Si Puitis ini juga hampir memiliki watak yang dengan Si Penyair yang sikapnya seolah-olah ia adalah benar dan bersikap mempengaruhi, seperti penyair sedang membacakan Syair kepada Audience untuk berusaha menyampaikan isi hatinya lewat tulisannya itu. Terkadang aku menyukai si Penyair ini karena mungkin ia dapat memahami isi hatiku, ia berkata benar, masuk akal, dan menuntunku menjalani kehidupanku sendiri. Tapi terkadang pula mereka adalah penyair yang hanya mencari ketenaran semata tanpa memaknai isi untaian di kertas itu.. ia hanya berkata, berteriak, bersedih, bergembira, dan menghayati hanya saat di atas Panggung, selepas dari itu hilang dan sia-sialah Syairnya itu, selain tak di dengar oleh dirinya para Audience pun mulai enggan mempercayai Syairnya itu.
Dan hanya ada seorang yang dekat antara aku dan Si Penyair, adalah Presenter.. satu-satunya bagian dari mereka yang hampir memahami sebagai isi dan keinginan hatiku. Sebab hanya ialah bagian dari mereka yang sejak dulu sampai sekarang mempunyai watak hampir mirip denganku, meskipun diriku tahu kalau semua perkataannya terkadang tidak dapat dipercaya, ia selalu berkata benar seolah-olah semua perkataannya itu Benar bagiku. Padahal tidak sama sekali berarti bagiku. Pemikiran, Perkataan, dan Perasaannya mungkin sama denganku. Tapi sesekali aku benci padanya karena terkadang pula sangat giat untuk menjerumuskanku ke dalam dunianya yang kelam.
Sungguh, mereka sangat tak berguna di hadapanku, mereka itu hanya berkata saat aku terbata dan bersedih saat ku senang. Semuanya mereka tunjukan tanpa memperdulikan perasaan sesungguhnya yang ada di dalam hatiku.
Sesekali ingin aku melenyapkan mereka semua dan sesekali pula aku berfikir adakah hal lebih berarti daripada mereka yang belum aku ketahui?
Suatu ketika aku bertanya pada cinta karena hanya ialah yang paling aku sukai di dunia ini..
“Wahai cinta adakah hal yang sebenarnya sangat berarti di dalam hidupku namun belum aku ketahui?”
“Ada…”
“Siapakah mereka?..”
“Mereka adalah Ikhlas…”
Aku terkaget mendegar jawaban dari cinta, bagaimana mungkin hal sesepele itu yang setiap hari aku dengar bisa begitu berarti?
Tapi walau bagaimanpun itu merupakan jawaban paling bijaksana dari Cinta, dan tentunya aku harus menghargai itu..
Perlahan aku mulai berfikir, dan pemikiranku aku mulai dengan keikhlasan tentunya.. Si Puitis itu yang selalu berkata bijak karena ia telah belajar dari pengalaman yang ia dapatkan di masa lalu. Ia telah belajar mana yang benar dan mana yang salah. Ia mengatakan tentang semua ini karena ia sangat menyayangiku dan ia tak ingin terjatuh kedalam masalah yang pernah ia alami yang akan membuatku terjatuh lagi ke dalam dosa-dosa karena baginya aku ini adalah belahan jiwanya lebih dari apapun. Dan aku sebut si Puitis itu OrangTua.
Tentang Si Penyair yang memiliki watak hampir sama dengan Si Puitis itu. Ia selalu mempengaruhiku dengan ucapan-ucapan benarnya. Ia berusaha menuntunku secara logika dan masuk akal dari pengalaman cendiakawan-cendiakawan yang ia tulis ia memotivasiku untuk terus bangkit menyongsong masa depan agar lebih baik lagi. Karena ia pikir kita tidak hidup saat ini saja dan hidup bukan hanya untuk suatu hal melainkan masih banyak hal yang perlu kita lakukan. Ia juga mengajariku betapa sulitmya mendapatkan ketenaran sepertinya sekaligus menjadi 2 fungsi yang berbeda saat di atas panggung dan di dalam rumah.. terakhir hal yang paling sering aku dengar darinya yaitu kesabarannya saat tak ada Audience yang mendengarkan Syair-syairnya itu.. Cinta Ikhlas Ku berkata aku sebut Si Penyair itu Guru.
Dan suatu hal yang tak pernah aku duga dari Ikhlas ini yaitu si Presenter satu-satunya bagian dari mereka yang memiliki watak sama dengan ku karena mereka adalah teman, ia selalu mengatakan benar yang ia pikirkan itu benar dan berkata salah saat ia pikir itu salah. Namun kebodohanku membuat perkataannya tidak ku pecaya, padahal aku tahu sendiri kalau aku belum menjalani pilihannya. Ia menemaniku, mendampingiku, mensupport diriku, di setiap waktu dan keadaan. Ia pun tanpa sahaja telah mengenal perasaanku jauh lebih dalam dan yang aku kira. Aku dan ia pun memiliki Cinta yang setara, sama seperti emosiku saat ini..
Tak ada alasan Bagiku untuk menyebut Si Presenter ituSahabat
Sekarang aku tahu bahwa hidup itu tak cukup hanya dengan Cinta, kita hidup masih butuh peran orang di sekitar kita meskipun terkadang kita sangat membencinya namun jika kita bersentuhan dengan mereka hanya dengan Cinta tanpa keikhlasan seperti kataku perlahan tapi pasti aku memahami apa yang dikatakan Cinta tentang hal ke-ikhlasnya sebenarnya sebab cinta dan kehidupan tak lengkap rasanya jika tanpa keikhlasan dari situ aku pun mendapatkan tambahan hal berarti dalam hidup ini yaitu:
IKHLAS dalam KASIH SAYANG seperti Sang Puitis
IKHLAS dalam KESABARAN seperti Sang Penyair dan
IKHLAS dalam Kesetia Kawanan seperti Sang Presenter
Bagiku hidup tak akan menjadi hidup tanpa Cinta, Kasih Sayang dan Keikhlasan.


Karangan: Alexander Agus Santosa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar